Nah, ketika keluarga saya ingin mengambil langkah yang berbeda dengan menghomeschoolingkan anak di tahun 2016, kami juga banyak galaunya. Mengingat ini jalan baru yang benar-benar berbeda, kami mencari komunitas untuk penguatan, istilahnya tuh bareng-barena aja biar belajarnya sambil jalan lihat yang sudah duluan di dunia homeschooling.
Alhamdulillah, akhirnya kami merapat ke komunitas Rumah Inspirasi di Jakarta Timur. Dan, sampai hari ini kami masih tetap menjalankan homeschooling mandiri. Anak tertua kami, Adiva usianya sekarang 23 tahun, sekarang ini dia bekerja sebagai illustrator dan animator melalui skill ilustrasi, animasi dan menulis yang dimilikinya. Sedangkan si adiknya, Aliyah, usianya 15 tahun, saat ini masih fokus pada bidang ilustrasi dan bahasa. Syukurnya, kedua anak kami memang kuat di bidang seni, sehingga rasa-rasanya jalur homeschooling ini memang langkah yang tepat untuk bakat dan minat mereka.
Pagi ini, saya membuka kembali catatan sewaktu mengikuti sharing Rumah Inspirasi tentang kualitas anak homeschooler yang tergantung pada orang tuanya, seberapa ngotot orang tuanya pada target-target yang telah ditentukan sendiri. Kualitas pendidikan anak - hal inilah yang membuat orang tua homescholler itu mesti siap lahir batin untuk repot dan capek.
Bener juga ya, bayangin saja, sudah tentu lebih enak menyekolahkan anak yang tinggal diantar ke sekolah setiap hari, setelah anak diantar, orang tua bisa fokus bekerja atau beristirahat, lalu orang tua juga tidak perlu belajar materi yang sedang dipelajari anak atau yang kira-kira akan dibutuhkan oleh anak di masa depan, sudah cukup menyerahkan pada pihak sekolah saja untuk memikirkan tahapan demi tahapan yang perlu dipelajari dan dikuasai anaknya, lah kok malah milih menghomeschoolingkan anak. Ya, jelas sajalah orang tua homeschooler itu wajib susah dan repot. Hahahaha, betul-betul. Repot mikir, sekaligus eksekusi. Belum lagi mencari jalan alternatif agar biayanya masuk dalam budget keuangan keluarga.
Tahun 2024 - sudah masuk tahun ke-8 saya menjadi orang tua homeschooler. Dalam perjalanannya, saya dan suami seringkali bertanya kepada diri sendiri, maunya apa, output seperti apa yang diinginkan, jangan sampai masa depan anak dipertaruhkan karena semua keputusan ini pasti ada konsekuensinya. Dalam homeschooling, orang tua yang pegang kendali, semuanya dibebaskan, semuanya boleh dipelajari, namun tentu saja ketika kebebasan diberikan, yang hadir justru malah bukannya kemerdekaan tapi kebingungan, mana satu yang mau dtekuni dan ditingkatkan kualitasnya dalam waktu yang terbatas.
Disinilah kekuatan dari dalam diri orang tua homeschooler sangat berperan dalam menemani anak bertumbuh dalam proses homeschoolingnya. Seberapa besar orang tua siap belajar, ngotot dan mau bekerja keras untuk memastikan homeschooling ini berjalan dengan baik. Karena di homeschooling ini tidak ada pihak yang maksain apalagi menjagain kualitas outputnya selain dari orang tuanya sendiri. Puas atau tidak puas dengan kualitas hasilnya pun terletak pada diri orang tuanya. Yang tentu saja, seiring dengan perkembangan anak, rasa puas akan kualitas sebuah aktivitas/target yang ingin dicapai sudah lebih berat pada diri sang anak. Orang tua sifatnya lebih pada pengawasan saja.
Saat sharing tersebut, kak Aar juga menyinggung tentang mental extra mile. Apa sih itu?
Mental extra mile ini ya ngototan, memberikan usaha yang tidak biasa-biasa saja, melainkan memberikan usaha yang lebih. Ngototan ini sebuah energi yang anak bisa dapat tanpa harus kita sampaikan kata-kata "semangat", "kamu pasti bisa", "jangan mudah menyerah", dan lain-lain. Ngotot itu ya kalau ada hal yang ingin dikejar, ya kejarlah, selesaikan lalu lanjut ke hal berikutnya. Tidak mengejar kesempurnaan. Namun selesaikan apa yang sudah dimulai dalam waktu yang telah ditentukan. Karena yang terpenting adalah selesai dan prosesnya dinikmati, baik dalam bentuk dokumentasi proses belajar maupun hasilnya. Tantangan berat yang jadi menu harian orang tua homeschooler adalah seberapa ngotot orang tua untuk menjalani keseharian bersama anak-anak, menemani proses mereka menjadi seorang pembelajar mandiri. Karena seiring waktu, tentu saja anak-anak sudah tidak akan lagi perlu pendamping intensif dari orang tuanya. Pada akhirnya, orang tua mengecilkan perannya dan memastikan anak berada di dalam proses serta jalur yang tepat sesuai dengan target kehidupan mereka sendiri.